30 September 2011

Remisi untuk Koruptor

Senin, 5 September 2011



ENAK menjadi koruptor di negeri ini. Negara memperlakukan mereka sangat istimewa.


Pertama, hukuman di tingkat banding dan kasasi bukan semakin berat, melainkan malah semakin ringan. Kedua, di dalam penjara pun koruptor masih bisa membeli kemewahan fasilitas. Ketiga, koruptor mendapatkan remisi, pemotongan hukuman, berkali-kali.  Sedikitnya dua kali dalam setahun pemerintah memberi remisi kepada koruptor, yaitu pada saat memperingati Hari Kemerdekaan dan hari besar keagamaan. Penganugerahan remisi itu biasanya dilakukan dalam sebuah upacara resmi dan diliput televisi.


Pada tahun ini, misalnya, dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan, sebanyak 427 narapidana korupsi mendapat remisi dan 19 orang di antaranya langsung bebas. Begitu juga saat memperingati Idul Fitri, sebanyak 243 koruptor mendapat remisi dan delapan di antaranya langsung bebas.


Selain mendapatkan remisi yang sifatnya umum itu, para terpidana korupsi masih bisa mendapat remisi tambahan. Kalau rajin menjadi donor darah empat kali setahun, menjadi ketua kelompok atau pemuka napi, terpidana korupsi bisa memperoleh tambahan remisi satu bulan sepuluh hari.


Fakta tak terbantahkan bahwa tak seorang pun koruptor di Republik ini yang menjalani hukuman penjara secara penuh. Itu pula sebabnya hukuman untuk korupror tidak pernah memberi efek jera.


Suara publik sampai kering mengecam pemberian remisi kepada koruptor yang menafikan efek jera. Akan tetapi, pemerintah menutup telinga. Dengan gagah perkasa, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar bahkan beralasan bahwa remisi merupakan hak narapidana, termasuk koruptor.


Tidak hanya itu. Patrialis Akbar mengharapkan pemberian remisi tidak dinilai sebagai kemanjaan bagi narapidana, tetapi harus dipahami dari sisi rasa kemanusiaan. Hal itu memperlihatkan watak pemerintah yang lebih berempati kepada koruptor di balik jeruji besi daripada rakyat yang dimiskinkan koruptor.


Sejauh ini pemerintah mengacu kepada ketentuan umum bahwa siapa yang berkelakuan baik selama di penjara akan mendapatkan remisi. Mestinya, pelaku kejahatan luar biasa seperti koruptor tidak diberi remisi. Korban korupsi ialah publik. Koruptor telah menghancurkan harkat dan martabat bangsa sehingga tidak pantas mendapatkan remisi.


Tidak sulit mengubah aturan remisi koruptor. Tidak perlu mengubah undang-undang, cukup memperbaiki isi Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Namun, perkara yang mudah itu menjadi sulit karena pucuk tertinggi pemerintahan tidak memiliki kemauan politik yang hebat untuk memberantas korupsi.



Sumber : Editorial Media Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan Meninggalkan Komentar