30 September 2011

Penyakit Stagnasi Akut Milikku

Aku menyadari, bahwa akhir-akhir ini aku mengalami stagnasi yang serius. Saat kehidupan berputar dengan frame gambar-gambar keseharian yang sama hari ke harinya, dengan babak-babak yang berulang dan tanpa sebuah letupan-letupan semangat, aku sadar ada yang harus ditafakuri sejenak. Rasanya ini stagnasi.

Saat sebuah puncak jalanan menanjak sudah kita jejakkan kaki, lalu biasanya setelah itu hamparan jalan adalah menurun, atau katakanlah paling tidak dia akan datar-datar saja.


Sewaktu sekolah, mimpiku adalah merantau dan kuliah, saat kuliah mimpiku adalah bekerja dan berkeluarga. Tapi sekarang sampailah sudah pada fase dimna aku tiba-tiba menjalani rutinitas dengan otomatis. Setiap hari selalu sama, tertebak dan begitu-begitu lagi.


Apa yang salah?


Lama-lama aku sadar ini perkara mimpi. Ada tujuan yang membuat kita bergelora dan meletup-letup. Saat ada sesuatu yang ingin kita capai, kita akan berlari dengan lebih kencang, arahnya pun kita sudah terka kemana, katakanlah suatu kali kita melenceng, tapi akan gampang kita kembali ke tujuan. Katakanlah suatu kali kita jatuh terjerembab, kita akan gampang bangun lagi, meski sakit kita tetap berlari. Karena ada sesuatu itu yang akan kita raih. Ada mimpi.


Kalau begitu kenapa tidak bermimpi lagi saja?


Rasanya, dalam segala tatarannya, mimpi-mimpi kita itu akan berkembang lebih berisi dan penuh tantangan, seiring juga dengan fase kehidupan kita.


Saat kita masih kecil, mimpi kita mungkin sebatas hal-hal remeh. Saat kita sudah beranjak besar, mungkin benturan mimpi kita adalah bagaimana mensinkronkan visi pribadi dengan realita lingkungan yang sering tidak sejalan. Makin besar lagi kita, makin besar pula masalahnya.


Dulu mungkin mimpi kita adalah terbang ke langit dan memetik bintang, maka setelah dewasa mimpi kita haruslah juga terbang ke langit dan memetik bintang, tapi dengan membawa sederet gerbong keluarga ini untuk sama-sama melihat bintang yang itu, langit yang itu, terbang ke arah situ, dan itu seninya.


Dulu, saya pernah ditegur keras oleh seorang dosen pembimbing skripsiku karena saya sudah melewati “batas normal” masa perkuliahan. Katanya : “orang tua itu, lebih banyak pengalaman hidupnya daripada kamu, mereka lebih siap menghadapi banyak cobaan hidup, mau takdir baik, mau takdir buruk. Yang tidak siap itu kamu!”


Pedas…tak ada ampun. Tapi aku bersyukur sekali. Kalimat itu seperti mendorongku untuk lebih semangat lagi dan lagi dalam menyelesaikan studi.


Ya, memang benar. Cobalah tengok orang tua kita! Mereka itu prototype pemimpi sejati, tak usah jauh-jauh. Geletar mimpi mereka itu masih mengaliri denyut-denyut kehidupan kita. Kalau mimpi kita waktu kecil adalah hidup layak dan berpendidikan layak, maka mimpi mereka adalah bagaimana membawa sekian orang dalam gerbong itu menjadi lebih baik, sama sekali bukan gelora-gelora pribadi seperti kita.


Mimpi sepertinya memang harus di perbaharui di setiap fase hidup kita, tapi merekonstruksi pemahaman kita tentang mimpi adalah juga penting. Dan ada kalanya bercermin pada orang – orang di sekitar kita yang lebih sukses.


Tidak punya mimpi mungkin membuat hidup menjadi stagnan, lesu dan mati. Tapi salah membuat mimpi, seringkali juga membuat kita semakin jauh berbelok arah. Arghhh…



-rheyzaurus-

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan Meninggalkan Komentar