22 September 2011

Gunung Sumbing, Pesona Gunung Gersang Yang Tidak Mudah Ditaklukkan

Berawal dari niat dan tekad yang kuat bersama seorang kawan untuk menyelesaikan pendakian "triple S" (Sumbing, Sindhoro, Slamet) di Jawa Tengah, maka diputuskan Gunung Sumbing adalah tujuan pendakian selanjutnya.



Gunung Sumbing merupakan gunung tertinggi kedua di Jawa Tengah dengan ketinggian mencapai 3.371 mdpl dan berhadapan langsung dengan Gunung Sindoro yang sudah pernah saya taklukkan bersama komunitas ALPEN kurang lebih setahun yang lalu.

Gunung ini memiliki tipe strato atau kerucut yang membuatnya terlihat sangat terjal dan sulit untuk didaki. Kondisi puncaknya yang terdiri dari tebing batu cadas dan banyak kawah - kawah kecil yang selalu mengeluarkan asap belerang membuat gunung ini selalu diminati oleh para pendaki dari seluruh pelosok negeri. Apalagi gunung ini termasuk dalam pendakian ‘Triple S’ (Sindoro, Sumbing, dan Slamet). Puncaknya terdiri atas dua puncak, Puncak Buntu, dengan ketinggian 3.362 mdpl dan puncak Kawah, dengan ketinggian 3.371 mdpl.

Untuk mencapai puncak Sumbing kita dapat memilih beberapa alternatif jalur pendakian. Rute Garung (Punggungan Utara), Rute Cepit (Punggungan Timur), dan Rute Kalikajar (Punggungan Barat).Ketiganya memiliki karakteristik dan sarana transportsi yang berbeda. Kemudahan akses transportasinya pun berbeda pula.

Keadaan medan gunung ini sangat gersang di musim kemarau. Kondisinya punggungan gunung juga terbuka dan hampir nyaris dipenuhi oleh ilalang. Sumber air juga susah ditemukan kecuali mata air yang terdapat di ketinggian 2200 M, yaitu di sekitar daerah Genus (jalur lama) atau di Kedung (jalur baru) dan bentuknya telah permanen karena mata air ini juga dipakai untuk keperluan ladang pertanian. Jalur menuju ke puncak setelah ladang pertanian adalah jalur bebatuan. Jalur bebatuan ini dikenal rawan longsor jadi pendaki disarankan berhati-hati melewati jalur ini. Setelah melewati jalur bebatuan ini maka pendaki akan dapat mencapai puncak buntu (3371 M). dari puncak ini pendaki harus mengelilingi jalan setapak untuk dapat turun menuju Kawah Besar Gunung Sumbing. Dari puncak buntu pada pagi hari pendaki dapat melihat megahnya Gunung Sundoro yang terdapat tepat di depan mata dan keindahan Gunung Slamet (3428 M) 110 Km sebelah barat Gunung Sumbing.

Waktu yang dimiliki sebenarnya lebih dari cukup untuk mempersiapkan segala sesuatunya, mulai dari mengumpulkan informasi, persiapan fisik dan mental, persiapan perlengkapan dan perbekalan, sampai dengan menyusun rencana dan manajemen perjalanan. Namun karena sesuatu dan lain hal maka rencana pendakian ini sedikit molor. Hingga hari keberangkatan pun, 4 orang anggota baru ikut bergabung. Andri, Parto, Didit, dan Bahar. Bahkan malam sebelumnya, saudari-saudari saya berencana ikut dalam pendakian. Namun saya tidak berani mengambil resiko tersebut di Gunung Sumbing. Maaf yaa..!



Rencana pendakian ini pun sebenarnya hanya akan ada saya dan wawan (seorang kawan yang sudah cukup berpengalaman menaklukan beberapa gunung a.l :Merapi, Merbabu, dan Lawu), serta iki (yang terobsesi menjadi seorang pendaki profesional dan pernah menaklukkan Lawu bersama saya. Hanya kami berdua). Karena banyak pertimbangan, iki tidak bisa ikut dalam ekspedisi kali ini.


Singkat cerita, akhirnya berangkatlah kami ber-enam menuju basecamp Gunung Sumbing yang terletak di Desa Butuh, Dusun Garung, Kecamatan Kalikajar, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Rute Garung merupakan salah satu dari 3 rute pendakian menuju puncak Sumbing  yang paling banyak diminati oleh para pendaki karena jalur ini banyak petunjuk dan keamanan medannya lebih terjamin serta waktu tempuhnya lebih cepat dibandingkan dengan jalur lain.



Basecamp di dusun Garung – Desa Butuh ini merupakan entry point atau desa terakhir menuju jalur pendakian. Di rute ini terdapat 2 jalur pendakian yaitu Jalur Lama dan Jalur Baru. Sebenarnya tidak ada perbedaan yang khusus mengenai kedua jalur ini hanya arah dan sudut pendakiannya saja yang sedikit berbeda. Jika menggunakan jalur lama maka akan terasa sangat berat karena pendaki akan menemukan medan pendakian yang berkemiringan sekitar 70 derajat, sehingga pada saat turun hujan akan sangat berbahaya untuk didaki. Berbeda dengan jalur baru yang terletak di sebelah barat jalur lama, medan pendakian tidak seberat jalur lama hanya ketika menggunakan jalur ini pendaki akan banyak melewati daerah perbukitan kecil sehingga akan lebih lama untuk mencapai puncak.

Setelah sampai di basecamp kami melapor kepada penanggung-jawab sekaligus registrasi ijin pendakian ke Gunung Sumbing. Di basecamp ini kita bisa bermalam dan memesan menu yang tersedia sebagai pengganjal perut sebelum mulai mendaki. Untuk kebutuhan air sebaiknya dipersiapkan di basecamp ini, karena selama perjalanan ke puncak mata air susah untuk dicari. Registrasinya cukup sederhana, kami hanya diminta menulis daftar nama rombongan dan membayar Rp. 3.000/orang.


 


Here We Go..!


Setelah kami mengurus administrasi, tidak lupa saya menyuruh kawan-kawan yang belum pernah mendaki melakukan peregangan otot untuk menghindari cidera-cidera yang tidak perlu sekaligus mengisi botol-botol air yang masih kosong.


Istirahat sebentar kemudian berdoa. Amin…!!! Waktu menunjukkan pukul 16.45 WIB dan cuacanya cerah. Kami mengambil rute jalur baru yang terletak di sebelah barat dusun. Jalur ini jika mendaki terasa lebih mudah dibandingkan dengan jalur lama. Tapi ketika turun gunung lebih baik melewati jalur lama. Kelompok dibagi menjadi 2. Saya, Andri, dan Didit dengan saya sebagai penanggung-jawab. Sedangkan kelompok lainnya ada Wawan, Bahar, dan parto. Wawan sebagai penanggung-jawab mereka. Kami diberikan sebuah peta yang sangat bermanfaat bagi kami.



KM 1 :   Jalan menuju batas hutan berupa jalanan aspal dengan tanjakan panjang. Di kanan kirinya terdapat rumah-rumah penduduk dan ladang-ladang. Dalam hati saya berdoa, semoga tidak terjadi apa-apa kepada kami karena pengalaman yang masih sangat terbatas apalagi di gunung yang konon katanya tidak mudah menggapai puncaknya plus miskin vegetasi alias gersang. Perjalanan awal menuju pos 1 ini terasa tidak begitu sulit karena masih merupakan jalan dusun dan hanya terdapat beberapa tanjakan yang tidak begitu berarti.


Di sepanjang perjalanan kami banyak bertemu dengan penduduk yang berjalan berlawanan arah dengan kami, mereka membawa kayu bakar kering dan bongkahan rumput. Kebanyakan dari mereka sudah berusia senja, namun semangat dan perjuangannya seakan mengalahkan kami yang muda-muda.


KM 2 :   Hampir satu setengah jam kami berjalan, pemandangan belum jauh berbeda dan matahari kian turun ke peraduannya. Kami melewati Pos 1 sambil istirahat sebentar menunggu kawan-kawan yang tertinggal di belakang. Maklum Bahar yang bertubuh gempal dan Parto yang smoke addict mungkin kaget dengan kondisi jalan yang mulai menanjak yang terdiri dari tanah liat dan berpasir. 2 botol minuman dihabiskan oleh mereka. Hhha…


Perjalanan dilanjutkan kembali menuju Pos II Gatakan. Di peta letak Pos II tidak begitu jauh sekitar 3 km dan waktu tempuh sekitar 1 jam. Setelah perjalanan yang cukup jauh dan -menurut insting saya- akan segera sampai di Pos II, kami menemui pertigaan. Lurus dan Kiri. Saat-saat seperti inilah seorang pemimpin harus bisa mengambil keputusan.


Saya memutuskan mengambil rute sebelah kiri yang ternyata adalah rute yang salah karena rute ini hanya digunakan oleh para petani untuk mengambil rumput sebagai pakan ternak mereka. Jalur ini memotong punggungan bukit dan semakin sempit, melewati sungai dengan aliran yang kecil, serta vegetasi yang semakin rapat dan tinggi. Lebih parahnya lagi beberapa kawan sempat panik, saya pun menghubungi petugas basecamp. Ide dari petugas menyuruh kami memutar balik menuju pertigaan tadi tapi saya memutuskan untuk tetap berada pada jalur ini. Lucunya, sekitar 10 meter kemudian kami menemui pertigaan yang terletak di KM III Jalur Lama.


KM III Jalur Lama :  Jalur pendakian sudah semakin menanjak dengan sudut kemiringan 45 derajat lebih. Kondisi jalan tanah liat dan berpasir sehingga seringkali kami tergelincir ke bawah walaupun kami masih sering menjumpai beberapa bonus (jalan rata, istilah). KM III dikenal dengan nama Malim. Disini juga merupakan kawasan bosweisen atau perbatasan antara hutan dan ladang penduduk. Sebenarnya memotong jalur di KM III ini kami seperti turun beberapa meter kebawah dari jalur sebelumnya.


KM IV (Genus) :      Kondisi jalan tidak jauh berbeda dengan sebelumnya hanya saja vegetasi di kawasan ini semakin rapat dan banyak pepohonan yang tinggi. Pendaki juga harus berhati-hati karena jalur berada di pinggiran jurang apalagi mendaki pada malam hari seperti kami. Tim sudah sangat kelelahan dan waktu sekitar pukul 10 malam.


Di jalur ini terdapat beberapa pertigaan yang kami kira adalah pertigaan Pestan (peken setan/pasar setan) yaitu pertemuan jalur lama dan baru. Karena kami semua takut “terjadi apa-apa”, kami sudah mulai diam dan tegang, saya sudah mencoba segala macam doa entah dengan yang lainnya. Mental kami sedang teruji apalagi kelelahan plus kelaparan sudah sangat membebani kami. Ternyata kita belum melewati pasar setan. Hufff… sedikit lega.


Kami melewati pertigaan engkol-engkolan yang kondisinya tidak terlalu menanjak tapi tetap harus hati-hati karena jalannya yang berpasir sehingga seringkali tergelincir. Kami beristirahat sebentar dan bertemu dengan pendaki dari wonosobo yang sedang bermalam disana. Sempat menanyakan rute kemudian kami melanjutkan perjalanan.


KM V (Seduplak Roto) :      Jalur pendakian menanjak kembali. Kali ini sudut kemiringan sudah sangat tinggi dan seringkali kami tergelincir. Kondisi jalan masih sama namun sejauh mata memandang ilalang sangat mendominasi kawasan ini. Karena sebagian anggota tim sudah sangat kelelahan, kami memutuskan untuk bermalam disini walaupun sempat terjadi sedikit perdebatan antara saya dan wawan. Saya hanya tidak ingin mengambil resiko dengan kawan-kawan yang baru pertama kali mendaki. Waktu menunjukkan pukul 23.20 WIB dan posisi kami berada pada ketinggian sekitar 2.350 mdpl. Bayang-bayang Sindhoro yang berdiri tegak di depan kami menambah indahnya langit pada malam itu dengan kondisi yang sangat cerah namun dingin dan berangin.




Kami mendirikan tenda dan segera mengisi perut yang sudah sangat memberontak sedari tadi. Wawan sebagai koki segera memainkan perannya. Hhha…




“Ahh.. apapun makanannya kalau diatas gunung dan di dalam pelukan alam semua terasa begitu nikmat”. Manusia itu jika sedang dalam kesulitan dan beban yang sama akan terasa damai dan bersatu. Semua menjadi satu. Satu lagi pelajaran hidup bagi saya.



Selesai makan kami segera beristirahat karena rencananya kami akan melakukan summit attack pukul 06.00 WIB.


 



To Be Continued…

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan Meninggalkan Komentar