20 Maret 2010

Membangun Jati Diri Intelektual Progressif di Tengah Apatisme

0 komentar
­­­Dalam konteks sehari-hari, istilah intelektual biasanya ditunjukkan kepada orang yang menggunakan kecerdasannya untuk bekerja, belajar, membayangkan, menggagas atau menyoal dan menjawab persoalan tentang berbagai gagasan. Merujuk pada istilah modern ‘intelektual’ adalah mereka yang amat terlibat dalam ide-ide dan buku-buku. Namun dari segi marxisme istilah intelektual ini adalah mereka yang tergolong dalam kelas dosen, guru, pengacara, wartawan, dan sebagainya. Berdasarkan hal tersebut, intelektual sering dikaitkan dengan mereka yang lulusan atau belajar di universitas.
Berbicara mengenai universitas, maka tentunya akan berhubungan pula dengan mahasiswa sebagai komponen penting dari sebuah universitas. Mahasiswa merupakan struktur tertinggi dalam berbagai pembelajar, dengan berbagai bekal pengalaman empiris dan kemampuannya mendayagunakan rasionalitas maka mahasiswa dipandang mempunyai kelebihan dan kedewasaan dalam bersikap maupun bertindak dalam menghadapi persoalan. Kemampuan dan kapasitas yang dimiliki tersebut, memperkuat eksistensi mahasiswa sebagai bagian dari kaum intelektual.
Mahasiswa adalah kalangan terpandang dalam struktur pendidikan yang perannya sangat diperhitungkan oleh banyak kalangan. Hal ini sebenarnya modal yang sangat berharga yang harus dapat didayagunakan oleh mahasiswa sebagai wujud dari eksistensinya. Lalu permasalahan yang timbul sekarang adalah sikap seperti apa yang harus dikembangkan oleh mahasiswa ketika melihat realitas yang sedang berkembang, apa yang harus dilakukan mahasiswa dalam kaitan dengan peran yang sedang diembannya sebagai seorang intelektual. Bila merujuk pada pengertian umum intelektual, maka dengan mudah ditemukan jawaban yang sederhana, yakni mahasiswa sebagai bagian dari komunitas intelektual harus membaca buku untuk memahami realitas sosial yang terjadi disekelilingnya. Namun, bila hanya sebatas itu peran yang dapat dilakukan oleh seorang intelektual, sungguh tiada berguna semua ilmu pengetahuan, kecerdasan, dan kemampuan yang dimilikinya. Pendefinisian intelektual sebatas kepada individu yang selalu memiliki keterkaitan dengan buku menyebabkan hilangnya peran-peran penting seorang intelektual dalam mendayagunakan kekmampuannya dalam keterlibatan aktif membangun lingkungannya.
Sebagai seorang intelektual, tugas dan prioritas seorang mahasiswa memang untuk belajar dalam lingkup akademik di perguruan tinggi. Namun posisi yang diemban oleh mahasiswa sebagai seorang intelektual muda tersebut, juga mempunyai tanggung jawab yang tidak dapat diabaikan untuk dapat turut berpartisipasi aktif dalam menggerakkan dan menggagas perubahan dalam dunia sosialnya (Prasetyo, jadilah intelektual progresif. 2007). Karena betapun juga mahasiswa merupakan bagian dari masyarakat, dan pada akhirnya juga akan kembali ke tengah masyarakat Soe Hok Gie mengatakan “…mahasiswa sebagai intelektual muda harus bisa menciptakan sesuatu yang baru, untuk mengatasi keberlangsungan kehidupan masyarakat, bukan malah sebaliknya menjadi sampah masyarakat…”.
Sebagaimana yang juga disepakati oleh banyak kalangan mahasiswa, sebagai seorang intelektual maka sudah sepatutnya mahasiswa bersikap progresif. Progresif sikap yang tanggap, aktif, dan partisipatif dalam menyikapi setiap realitas disekitarnya (Prasetyo, 2007). Jadi, sikap yang harus ditanamkan oleh mahasiswa sekarang ini adalah kritis progresif bukan apatis ( tidak mau peduli ) karena hal ini akan membawa mahasiswa menjawab tantangan kedepan menuju cita – cita bangsa, mewujudkan kemakmuran dan keadilan masyarakat.
Namun realitas yang terjadi sekarang ini, dimana semua sudah tersedia dimanapun, laju informasi yang pesat serta beragam kemudahan teknologi lainnya semacam internet dan fasilitas lainnya ternyata justru semakin melemahkan daya kritis dan gerak progresif mahasiswa. Mahasiswa semakin manja dan bersikap apatis terhadap kehidupan sekitarnya. Situasi saat ini telah menanggalkan peran progresif kaum intelektual. Peran yang nyatanya ditelan oleh rendahnya kepedulian dan pengetahuan. Kepedulian tidak tertanam kuat karena watak kelas yang semakin memanjakan. Watak yang tidak tahan derita dan penuh dengan keinginan akan kemapanan. Cerminan tersebut nampak nyata dalam kehidupan kampus. Mahasiswa – mahasiswa yang gemar bersolek dan memperagakan teori tanpa kenal realitas. Malas dalam berdebat dan tidak punya gairah dalam berkarya (Hadiz, 2004).
Budaya intelektual yang menumbuhkan ide – ide kritis baik itu dalam diskusi, tulisan ataupun organisasi semakin tidak menarik minat mahasiswa. Mahasiswa cenderung berpikiran sempit bahwa tugas seorang intelektual adalah belajar dengan tekun di bangku perkuliahan, melakukan beragam penelitian dan eksperimen ilmiah, dan melaksanakan kegiatan akademis lainnya guna menjadi paling cerdas dan lulus dari bangku perkuliahan secepat mungkin untuk memperoleh predikat cumlaude, mahasiswa berprestasi, mahasiswa teladan atau semacamnya. Kemudian, kenyataan akan realitas sosial hanya dituangkan kedalam garafik-grafik, didefinisikan secara umum, kemudian dipecahkan melalui prosedur yang rumit. Menurut Pramoedya Ananta Toer mahasiswa boleh saja maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja. Tapi tanpa kepedulian sosial dan kepekaan akan realitas lingkungan, mahasiswa hanya tinggal hewan yang pandai.
Seorang intelektual harus memiliki sikap progresif. Tak ada intelektual yang pekerjaannya hanya duduk di belakang meja, apalagi jika hanya bergegas memburu kemapanan. Seorang intelektual bukan perantara dari teori – teori abstrak untuk dicangkokkan pada lapisan massa awam: tapi seorang yang mendasarkan pengetahuan dari fakta – fakta social yang ada di lingkungannya ( Gramsci dalam Groz, 2005 ). Oleh karena itu maka seorang intelektual harus terlibat aktif dengan lingkungannya, berperan serta dalam segala usaha untuk membangun dan merubah masyarakat sosialnya. Keunggulan seorang intelektual tidak bisalagi terdapat pada kefasihan berbicara, yang merupakan gerak luar dan sementara dari perasaan dan keinginan, numun dalam partisipasi aktif dalam kehidupan praktis, sebagai pembangun, organisator, penasehat tetap dan bukan semata – mata ahli pidato. ( Gramsci dalam Groz, 2005 ). Dengan sikap progresifnya, mahasiswa sebagai kalangan intelektual muda, harus dapat menjadi bagian dari organisasi social yang menyuarakan segala perubahan dan perbaikan system social atau bahkan menjadi organisator atau moto penggerak dari segala upaya perbaikan system dan pembangunan masyarakat sosialnya. Dalam pengertian yang paling sederhana, pada lingkup yang paling kecil mahasiswa sebagai kaum intelektual harus mampu bersikap progresif di lingkungannya sendiri, yakni lingkungan kampus atau perguruan tinggi. Perwujudan sikap yang paling sederhana adalah dengan terlibat aktif didalam berbagai pergerakan organisasi kemahasiswaan dikampus, yang kehadirannya selama ini memberikan andil yang cukup besar bagi perjalanan intelektualitas mahasiswa. Dengan kata lain, organisasi juga merupakan sarana pengembangan intelektualitas dan sekaligus kepekaan sosial mahasiswa terhadap kehidupan bermasyarakat.
Namun sebagaimana disampaikan sebelumnya, permasalahannya kembali lagi kepada sikap apatis yang semakin membudaya di kalangana mahasiswa. Golongan mahasiswa yang apatis dan enggan untuk memikirkan politik yang rumit adalah realitas yang harus dipecahkan.
Kecenderungan bersikap apatis dan tanpa sikap apapun juga dikarenakan keengganan untuk bias berpikir dan bertindak dalam proses, selalu orientasi hasil, sangat instant dan terkesan tidak mau tahu dengan proses padahal kalau berbicara politik adalah juga berbicara proses. Butuh idealisme, keihklasan dan yang terpenting adalah sikap tanpa pamrih karena ukurannya adlah moral, sedangkan gerakan moral membutuhkan durasi yang lumayan panjang dan harus dijalani dengan sabar. Untuk itulah diperlukan pola pikir yang tumbuh dalam jiwa – jiwa muda yang progresif harus bias menggugah kalangan mahasiswa lainnya untuk sama – sama bergerak dan mengembagkan progresifitas. Oleh karena itu, maka perlu dilakukan sebuah usaha bersama untuk dapat membangun kembali jati diri mahasiswa sebagai insane progresif.

Tantangan Asrama Mahasiswa Daerah

0 komentar
Sebagai basis pendidikan unggul di tanah air, Yogyakarta menjadi magnet bagi pelajar dari seluruh nusantara. Universitas-universitas berkualitas baik negeri maupun swasta, banyaknya tokoh-tokoh nasional yang berasal dari Yogyakarta, keramahan dan kesantunan khas Yogya, serta biaya hidup yang murah dibandingkan kota-kota lain, menjadi daya pikat tersendiri bagi anak-anak daerah. Tradisi intelektual dengan sentuhan khas pada sisi kuatnya idealisme yang dipegang, berbeda dengan tradisi intelektual di tempat lain yang telah tergerus motif politis dan ekonomi.

Pemerintah Daerah dari Propinsi lain ( termasuk Pemerintah Kota ) melihat kenyataan tingginya minat siswa daerah untuk melanjutkan studi di Yogya, sebagai realitas yang positif bagi perkembangan pembangunan daerah yang masih ketinggalan, terutama di luar pulau Jawa. Kalau kita rujuk dari sejarah, kehadiran asrama-asrama daerah ini bermula pada tahun 1950 - 1960-an, ketika Sri Sultan Hamengku Buwono IX menyediakan tanah kraton untuk pendirian asrama daerah. Hal ini merupakan bentuk kepedulian kraton kepada mahasiswa rantau. Kepedulian ini bangkit dari semangat Nasionalisme Sri Sultan, di mana pada saat itu bangsa Indonesia yang baru merdeka digerogoti oleh agresi Belanda dan pergolakan di daerah.

Setelah bereksistensi sekian lama, belakangan ini kehadiran asrama-asrama mahasiswa daerah menjadi persoalan tersendiri bagi pemerintah Yogyakarta terkait dengan semakin kuatnya nuansa eksklusifitas etnis. Banyak masyarakat yang mengeluhkan kurang bersosialisasinya warga asrama dengan masyarakat sekitar. Tidak hanya itu, ego kedaerahan juga telah merambat pada sikap antipati kepada mahasiswa daerah lain. Fenomena ini berimplikasi pada konflik-konflik horizontal, dari sikap acuh tak acuh sampai kepada tindak kekerasan.

Tantangan kedua yang dihadapi oleh asrama mahasiswa daerah adalah minimnya bantuan yang diberikan pemerintah daerah untuk penyewaan asrama. Sehingga ada kecenderungan dua tahun ini, mahasiswa baru daerah lebih memilih tinggal di kos ataupun kontrakan. Akibatnya perekrutan mahasiswa baru daerah tidak dapat maksimal.

Kondisi ini membuat beberapa kalangan apatis dengan keberadaan asrama-asrama mahasiswa daerah. Wacana pembubaran asrama daerah-pun bergulir. Menurut hemat, hal ini bukanlah pandangan yang solutif untuk mencari jalan keluar. Bukan saja tidak memecahkan akar masalah, bahkan menghilangkan identitas budaya yang pada dataran tertentu perlu terus dipupuk dan dipertahankan dengan kehadiran asrama daerah. Pemerintah Yogyakarta pun telah merasakan peran aktif asrama daerah dalam penyuksesan agenda-agenda pariwisata Yogya, berupa penampilan seni dan budaya khas daerah.

Untuk memecahkan beberapa persoalan di atas ada beberapa solusi yang perlu kita kaji lebih dalam. Pertama, perlu ditumbuhkan sebuah kesadaran dimana bumi dipijak, di sana langit dijunjungĂ® untuk menghilangkan image negatif masyarakat akan keberadaan asrama daerah. Partisipasi aktif warga asrama melalui keterlibatan dalam kegiatan-kegiatan pemuda dan warga, lambat laun akan mencairkan suasana. Ketertutupan hanya membuat kita terkungkung dalam keegoan etnis sendiri. Bergaul dengan masyarakat sekitar merupakan proses berharga dalam pematangan konsep budaya kita sendiri dengan melihat keluhuran budaya lain. Ketika terjadi sebuah dialektik, maka sikap saling menghormati akan tumbuh dengan sendirinya.

Kedua, minimnya bantuan yang diberikan pemerintah daerah biasanya terkait dengan stigma yang berkembang saat ini bahwa asrama daerah terkesan kotor, ribut, dan hal-hal akademis tidak terlalu diperhatikan. Stigma ini dapat dimentahkan dengan kesungguhan pengurus asrama dalam memberlakukan aturan-aturan yang menunjang kelancaran studi bagi warganya. Mungkin penyediaan fasilitas penunjang belajar di asrama bisa menjadi faktor penarik bagi mahasiswa baru dari daerah untuk tinggal di asrama. Serta meyakinkan bahwa asrama memberikan suasana belajar yang kondusif bagi para penghuninya.

Ketiga, untuk mengembalikan citra pendidikan Yogyakarta di daerah, perlu upaya sinergis antara Pengurus Asrama, Pemerintah Yogyakarta, Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi, dan sesepuh daerah yang ada di Yogya. Promosi dan pemberitaan yang benar tentang situasi dunia pendidikan Yogya perlu dilakukan untuk meredam info-info negatif yang telah dahulu sampai pada masyarakat di daerah.


13 Maret 2010

Kerukunan Pelajar Mahasiswa Buol ( KPMB ) Yogyakarta

0 komentar
KPMB merupakan second home bagi anak - anak perantauan dari buol yang menuntut ilmu dibuol. Organisasi ini adalah salah satu dari sekian banyak organisasi yang bersifat kedaerahan di Jogjakarta. Organisasi seperti KPMB ini banyak tersebar diseluruh indonesia baik di pulau Jawa atau Sulawesi.
Berikut ini adalah sejarah singkat KPMB dan seperti apa sich KPMB itu?

Kerukunan Pelajar Mahasiswa Buol ( KPMB ) Yogyakarta, didirikan pada tanggal 01 April 2000. Sebagai bentuk perwujudan dari rasa solidaritas dan persaudaraan yang tinggi antar sesama warga buol yang ada di Yogyakarta. Walaupun ide ini awalnya dipicu oleh pemberlakuan UU otonomi Daerah dimana Buol saat itu memutuskan untuk berpisah dari Tolitoli dan berdiri menjadi sebuah kabupaten yang baru. 

Lebih dari sebuah organisasi, KPMB merupakan paguyuban yang berasaskan kekeluargaan yang merangkul seluruh anak – anak daerah untuk berkumpul dalam suatu wadah komunitas atau yang biasa disebut sebagai keluarga kedua. Selama hampir 10 tahun organisasi ini berdiri telah mengalami pasang dan surut koordinasi dalam berbagai program kerjanya. Namun dalam berbagai kendala yang ada tidak menyurutkan segenap warga KPMB untuk mengadakan program – program kerja yang bertujuan untuk membangun solidaritas dan tanggung jawab demi menjawab tantangan masa depan. 

Kegiatan paling penting yang diadakan KPMB adalah Musyawarah Umum dan Musyawarah Kerja dimana kegiatan ini adalah salah satu bentuk perwujudan demokrasi dalam organisasi yaitu pemilihan Ketua KPMB. Sampai pada periode kepengurusan tahun ini, Rahmat Hidayat sebagai Ketua KPMB untuk masa kepengurusan 2009 – 2010. Selain musyawarah umum dan kerja KPMB memiliki beberapa agenda program wajib guna menumbuhkan potensi mahasiswa sebagai seorang pemimpin, serta membawa cita-cita dan harapan orang tua serta seluruh masyarakat didaerah agar berguna bagi nusa dan bangsa. Kegiatan – kegiatan ini dijadikan sebagai wahana silaturahim serta rekonstruksi paradigma berpikir sehingga out put dari kegiatan ini adalah para intelektual yang sadar dan paham, serta kritis yang kemudian menjelma menjadi motor perubahan dan pembebasan didaerah nantinya. 

Salah satu kegiatannya adalah Orientasi Mahasiswa Baru KPMB ( OMBAK ) yang diadakan setahun sekali guna memperkaya khasanah pengetahuan dan pemahaman mahasiswa tentang serba-serbi dunia akademik, kemahasiswaan dan keorganisasian khususnya seputar eksistensi mahasiswa daerah. Selain itu OMBAK merupakan pengukuhan mahasiswa baru menjadi warga KPMB. Latihan Dasar Kepemimpinan ( LDK ) dilaksanakan setelah OMBAK. Program ini penting guna menumbuhkan kesadaran kritis tentang peran, tanggung jawab dan posisi moral intelektual mahasiswa dalam dinamika kehidupan sosial ( kampus dan masyarakat luas ). Serta menumbuhkan kesadaran akan pentingnya menjadi seorang pemimpin bagi diri sendiri, lingkungan dan masyarakat dan peningkatan daya krtatifitas serta aktifitas dalam mendorong organisasi KPMB yang lebih baik. Kedua program kerja ini akan segera dilaksanakan seiring dengan adanya tahun ajaran baru. 

Selama tahun 2009 yang lalu, KPMB telah mengadakan beberapa kegiatan yang bersifat internal seperti kajian – kajian rutin yang diadakan 2 minggu sekali dan kajian – kajian ilmiah dengan pembicara dari warga KPMB sendiri yang telah memiliki cukup wawasan atau dasar ilmu yang dikuasainya. Selain hal tersebut, pada 2009 KPMB juga mengikuti beberapa kegiatan yang bersifat eksternal seperti kegiatan seni dan olahraga yang diadakan oleh Asrama Pusat Sulawesi Tengah, IKPM Kalimantan Barat, IKPM Kep. Riau, dan ikut dalam aksi damai bersama Gerakan Moral Rekonsiliasi Pancasila ( GMRP ) yang diadakan di Solo Jawa Tengah menuntut Menjadikan pancasila sebagai sebuah penyadaran terhadap adanya keberagaman kebudayaan di Indonesia dan menjunjung tinggi pancasila dan UUD 1945. Aksi damai bersama Aliansi Uni Kebangsaan mendesak pemerintah karena ketidak-berpihakannya terhadap masyarakat daerah yang menyebabkan desintegrasi bangsa dan mengancam keutuhan NKRI untuk perhatian kesejahteraan terhadap masyarakat pedalaman dan daerah – daerah yang belum terjamahkan. Selain itu, KPMB Jogjakarta juga diundang pada pertemuan mahasiswa antar daerah seluruh Indonesia dalam pekan kebudayaan yang diselenggarakan selama 2 hari. Namun, karena keterbatasan properti maka KPMB batal dalam pertemuan tersebut. Sedangkan pada awal 2010 ini, KPMB telah melaksanakan salah satu program kerja utama yaitu Orientasi Mahasiswa Baru KPMB atau lebih kerennya OMBAK yang disatukan dengan LDK disebabkan karena adanya berbagai keterbatasan sehingga acara yang sekiranya untuk menyambut mahasiswa baru pada pertengahan 2009 diundur sampai akhir 2009. Dan pada pertengahan tahun ini juga akan diselenggarakan Musyawarah Umum dan musyawarah Kerja dalam rangka pemilihan Ketua KPMB yang baru periode 2010-2011. 

Dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada, KPMB memiliki Asrama Putra dan Putri sebagai sekretariat tetap. Namun, karena minimnya dana yang dimiliki sehingga KPMB hanya mampu menyewa rumah tinggal sebagai asrama dan tidak dapat menampung keseluruhan warga KPMB yang ada di Jogjakarta. Padahal putera – puteri daerah yang melanjutkan studi ke Jogjakarta bisa dikatakan tidak sedikit dan sampai saat ini tercatat 60 orang lebih mahasiswa aktif yang terdaftar dalam organisasi. Angka ini akan terus bertambah bersamaan dengan masa tahun ajaran baru.

Mahasiswa Boneka

1 komentar
Dalam bisu mengupas sebuah kepenatan
Menjadi seorang Mahasiswa
Konon
Mahasiswa seperti Dewa
dewa yang berbentuk manusia

Macam lakon yang kacau

Aksi tak pakai fikir
Aksi tak pakai hati
Panji kebenaran saja tak berani disibak
Jadi apa?
jadi dewa?

Berlakon saja tidak becus
Belagu dengan kesombongan
Kosong dengan hati nurani

Intelektual?
Mahasiswa apa?
Bonekanya Birokrat
Mahasiswa Boneka

Tidur saja
Nina bobo
Mahasiswa Boneka

All About Pharmacy

0 komentar

Dibawah ini ada e-book yang berhubungan dengan FARMASI dan Free Download :


ABC.of.Diabetes.pdf

Diabetes in Old Age.pdf

Drug Bioavailability.pdf

Handbook of clinical drug data.pdf

Injectable Dispersed Systems.pdf

MedFacts - Pocket Guide of Drug Interaction.pdf

Outpatient Medicine.pdf

Pharmacotherapy Dipiro.pdf

Oncology.zip

GOODMAN & GILMAN'S THE PHARMACOLOGICAL BASIS OF THERAPEUTICS

The Cancer Handbook.pdf

Plants That Fight Cancer.pdf

Cancer.pdf

Preventing Medication Error.pdf

Family Medicine.pdf

07 Maret 2010

ANAK MALAM

0 komentar

Kami tinggal di jazirah
yang kau sebut keras
kami minum dari tetes
embun fajar dan dini hari
menyusu pada sari bebintang
dari galaksi yang lama hilang
itu sebabnya kami jauh
dari pemahamanmu
berkilauan di sudut mimpi
kami hidup dari bayang-bayang
yang ditanggalkan waktu
bagi bumi yang sabar menanti
menempati ruang – ruang kosong
yang belum diisi pengertian
kami tak mengenal batasan
kami satu sekaligus semua
kami ada tapi juga tak ada
kami tinggal ditepian malam
dimana gelap menghapus jarak

Ook Nugroho (KOMPAS, 5 Feb '10)