18 Juni 2011

Nglanggeran, Cerita Tentang Pagi Yang Menakjubkan

1 komentar
Di sela-sela keseharian yang membosankan bulan ini, ada beberapa destinasi yang ingin saya datangi. Salah satunya adalah Gunung Api Purba Nglanggeran yang terletak di Desa Nglanggeran Kecamatan Patuk Gunung Kidul. Berada pada ketinggian 700 mdpl, Gunung ini termasuk salah satu kawasan ekowisata yang sering digunakan kelompok-kelompok mahasiswa untuk melaksanakan kegiatan misalnya Flying Fog, refling, climbing, hiking/trekking, out bond, makrab, dan lain-lain. Sore itu saya berhasil mengajak beberapa orang teman untuk ikut dalam ‘ekspedisi’ Nglanggeran.
Kurang lebih pukul 17.00 WIB rombongan kami berangkat menuju Desa Nglanggeran Kacamatan Patuk yang berjarak kurang lebih 30 menit perjalanan menggunakan motor. Berpegangan pada sebuah peta dari “Mbah Google” kami pun menuju Wonosari dan berhenti sejenak untuk melepaskan lelah dan menyiapkan segala keperluan yang dibutuhkan selama pendakian. Saya kurang yakin dengan rute ini, karena dari hasil searching saya menyebutkan bahwa jarak antara Yogyakarta-Nglanggeran membutuhkan waktu setengah jam perjalanan dan saat itu kami telah menempuh hampir 1 jam perjalanan. Dari hasil ‘konsultasi’ dengan warga yang kami temui ternyata kami tersesat jauh, sangat jauh bahkan. Kami pun kembali lagi dari titik awal menuju Wonosari yaitu Bukit Bintang.
Sesampainya di kawasan Nglanggeran waktu menunjukkan pukul 7 lebih. Setelah mengurus administrasi dan istirahat sejenak, kami bersiap memulai “Ekspedisi Nglanggeran”.
Ada hal yang sangat memalukan ketika kami memulai pendakian. Kami ‘membuat’ jalur baru seenaknya dan hasilnya kami pun tersesat. Lagi. Untungnya petugas yang ada cepat dan tanggap dengan keadaan seperti ini ditambah lagi dengan pengetahuannya tentang gunung ini. Kami pun ‘terselamatkan’ dari gelapnya hutan bambu dan curamnya batuan karang purba serta ke-sotoy-an. Bahkan kami sempat ditertawakan para warga dan pendaki lain yang mendirikan tenda di dekat Pendopo Joglo Kalisong.








Trek awal menuju pos 1 cukup menantang karena melewati batuan karang raksasa yang terdapat disepanjang rute dan masuk ke celah-celah karang yang sempit. Jarak dari base camp ke pos 1 sekitar 20 menit perjalanan. Di pos ini kita akan disuguhkan oleh pemandangan Kota Jogja di malam hari yang sangat menakjubkan dan cukup ‘romantis’. Pos 1 merupakan tanah lapang yang cukup lebar dan rata yang dapat menampung puluhan tenda. Kemudian disisi barat kita akan melihat batu karang sebesar kapal yang baru saja kita lewati. Sejenak ber-narsis ria dan melepaskan lelah kami memulai pendakian menuju Pos 2.






Trek menuju pos 2 relatif santai karena jalurnya yang memutar punggungan bukit tidak memiliki tanjakan yang tinggi. Beda dengan jalur sebelumnya yang di dominasi batu karang, jalur ini lebih di dominasi oleh tanaman-tanaman dan pohon-pohon yang tidak terlalu besar. Vegetasi tumbuhan pun tidak terlalu rapat. Pokoknya trek ini sangat mudah bagi para pendaki yang sudah berpengalaman.
Kurang lebih 25 menit perjalanan kami sampai di Pos 2 yang merupakan dataran lapang dan dikelilingi oleh beberapa batu karang raksasa. Setelah istirahat dan mendirikan tenda kami sempatkan untuk ber-pose lagi…dan lagi. Dengan ditemani api unggun dan kopi, malam itu kami isi dengan berbagai obrolan ringan dan santai walaupun sesekali ada juga yang curhat sambil tetap masang tampang di depan kamera. Malam semakin larut dan angin semakin kencang. Bulan masih sama.
Karena ketidak-siapan dalam rencana ini hasilnya kami pun kedinginan sampai pagi diluar tenda karena tidak membawa sleeping bag atau pakaian hangat. Beruntung di Nglanggeran banyak ranting kering yang dapat digunakan untuk membuat api unggun. Sampai pagi.










 
Mentari pun menjelang, kami segera berkemas dan membersihkan sampah yang ada disekitar lokasi kami. Kami tidak ingin melewatkan salah satu moment berharga saat itu. Sunrise. Puncak ini merupakan salah satu dari beberapa puncak yang terdapat di Nglanggeran. Dari lokasi kami menuju puncak Nglanggeran membutuhkan waktu 5 menit melewati jalur yang sangat mudah dan rata.
Menikmati hangatnya mentari pagi merupakan salah satu kenikmatan tersendiri bagi para pendaki apalagi hal tersebut didapatkan dengan usaha yang keras dan tekad yang membaja untuk sampai kesana. Kurang lebih 1 jam menikmati pagi yang menakjubkan itu dengan pose-pose ‘sensual’ kami pun segera beranjak untuk pulang sekaligus  melanjutkan ke-narsis-an di beberapa spot yang sudah kami ‘check list’ sewaktu pendakian.











 
Dengan tenaga baru dari sinar mentari yang hangat ternyata cukup membuat kami mendapat energi lebih melewati rute-rute yang cukup menyenangkan dan menegangkan untuk sesegera mungkin sampai ke kasur empuk yang setia menanti kita.







10 Juni 2011

Negeri Lelucon

0 komentar
Di manakah negeri tempat terdakwa penggelapan pajak leluasa keluyuran ke mancanegara? Di manakah pula tersangka atau terdakwa bisa menjadi kepala daerah? Jawabnya, di negeri lelucon bernama Indonesia, tempat hukum bisa dipermainkan semaunya. Inilah negeri tempat penyelenggaraan negara berlangsung suka-suka, seperti main-main.

Lelucon paling mutakhir adalah pelantikan Jefferson Rumajar, terdakwa kasus korupsi yang tengah mendekam di penjara Cipinang, sebagai Wali Kota Tomohon, Sulawesi Utara. 

Jefferson didudukkan ke kursi pesakitan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jika seseorang dijadikan tersangka oleh KPK, bisa dipastikan dia akan menjadi terdakwa dan kemudian terpidana. Sebab, bukankah KPK tak punya wewenang menghentikan penyidikan perkara korupsi sebagaimana kepolisian atau kejaksaan?. Akan tetapi, pemerintah tetap melantiknya karena statusnya masih terdakwa, alias belum berkekuatan hukum tetap sebagai terpidana. Ditilik dari prinsip asas praduga tak bersalah, ia berhak menjadi kepala daerah. Begitulah, Jefferson tetap dilantik menjadi kepala daerah atas dasar akal-akalan terhadap hukum positif. 

Maka, bertambahlah jajaran kepala daerah yang menyelenggarakan pemerintahan daerah dari balik jeruji penjara. Bahkan, Jefferson dengan gagah perkasa melantik sejumlah pejabat Kota Tomohon di LP Cipinang. Celakanya negaralah yang memfasilitasi berlangsungnya lelucon itu. 

Hukum positif rupanya tidak mengenal rasa malu. Menjadi pejabat pun rupanya tidak memerlukan rasa malu. Buktinya, pejabat Kota Tomohon tidak malu dilantik oleh seorang terdakwa, dan tidak malu dilantik di dalam penjara. 

Pelantikan Jefferson jelas merupakan ironi demokrasi. Demokrasi ternyata gagal menghasilkan kepala daerah yang jujur, bersih, dan tahu malu. Partai politik menyumbang andil yang besar. Sebab, alih-alih melakukan pendidikan politik agar rakyat memilih kepala daerah yang jujur, parpol lebih berkonsentrasi merebut kekuasaan untuk memenangkan calonnya, termasuk dengan cara menghalalkan politik uang. Bukannya melakukan pendidikan politik, partai politik plus kandidat kepala daerah yang diusungnya, malah melakukan pembodohan politik kepada rakyat. Itulah sebabnya banyak tersangka terpilih sebagai kepala daerah atau kepala daerah terpilih yang kemudian menjadi tersangka. Sepanjang tahun 2010 tercatat 148 dari 244 kepala daerah menjadi tersangka. 

Jika tetap berpegang pada teks hukum positif, bakal bertambah tersangka atau terdakwa yang dilantik sebagai kepala daerah. Itu artinya negeri ini masih akan menjadi negeri lelucon, entah sampai kapan. Dan, dunia pun tertawa.



sumber : Editorial Media Indonesia 10 Januari 2011

Air Mataku Bukan Untuk Negeriku

0 komentar
Air Mataku Bukan Untuk Negeriku…!
tetapi untuk bapak si pedagang kerupuk
yang berjalan tanpa alas kaki dan pakaian usangnya
Padahal disana penguasa negeriku
pameran kilatan sepatu
Dalam selimut kayu berukir
tumpukan batik licin hanya memberi makan rayap

 

Air Mataku Bukan Untuk Negeriku…!
tetapi untuk memandikan jenazah si miskin
yang menggadai nyawanya di ranjang putih
untuk saudaraku yang busung lapar di kerajaannya sendiri
yang terisolasi karena hartanya dirampas

 

Air Mataku Bukan Untuk Negeriku…!
sebab air mataku telah terkuras
untuk memberi minum adik-adik kecil
perempatan jalanyang menggantungkan hidupnya
pada tutup botol berkayu
serta kantongan plastik bekas gorengan


 

Air Mataku Bukan Untuk Negeriku…!
Karena kini monster-monster berdasi telah menyihirnya
menjadi sangkar nenek sihir dan sarang penyamun
meski kini usianya beranjak menua


 

Dia juga semakin tergadai
menjadi rebutan dalam bursa kuasa
menjadikan pemimpinku layaknya boneka
pajangan etalase kapitalis-kapitalis rakus
berbagai musibahmelanda, bukannya istighfar
malah menjandikannya ladang koruptor

 

Sekarang titik-titik air mataku yang masih tersisa
-sekali lagi- bukan untuk negeriku…!
tak ada lagi yang tersisa
untuk aku meratapi negeriku
karena aku terlalu lama menunggu
menunggu…dan bosan…!

menunggu…dan muak…!

 

Namun nuraniku berbisik
menangislah untuknya!

01 Juni 2011

Rheyzaurus - Aku Hanya Bisa Diam

0 komentar
Dalam ruang yang putih ini
Diantara puluhan kursi - kursi yang telah usang
Kudekap diriku dan pikiranku
Bersandar pada dinding - dinding kotor dan kusam
Mencoba agar logikaku mampu memahaminya dan aku hanya bisa terdiam..

Dia berdiri disana
Seringkali bercerita tentang apa yang kita yakini
Seringkali pula dia bercerita tentang kesombongannya
Entah apa yang ada dipikirannya
Tak mampu aku memahaminya

Sombong, angkuh, penuh dendam...
Aku menilainya seperti itu..
Persetan dengan yang lain..
Pembual, kolot, dan keras kepala pun
Sempat kusandangkan padanya
Ketika aku begitu benci... Ketika aku diam..

Orang tua dengan separuh nafasnya
Begitu bangganya dia akan hidupnya
Seolah - olah dia miliki semuanya
Seolah - olah pahamnya-lah yang sempurna
Seolah - olah langit dan bumi diturunkan untuknya

Apa yang ada dipikiranmu...???

Aku hanya akan terus diam
Menutup erat - erat pikiranku dalam ruang ini
Agar tak sama denganmu meskipun keyakinan kita sama
Tapi...
Dan aku masih tak mampu memahamimu..

 

_rheyzaurus_