Tampilkan postingan dengan label Renungan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Renungan. Tampilkan semua postingan

14 November 2011

Refleksi Bangsa

0 komentar
Berbagai macam kisruh di negara ini tak ubahnya seperti di sinetron.  Sementara, sinetron tanpa kualitas masih terus tayang dengan cerita yang serba berlebihan dan tidak masuk akal. Kita geram! Tapi ternyata itu semua adalah cerminan kehidupan bangsa ini. Banyak kejadian sosial politik mirip dengan cerita sinetron.

Kita flash back sebentar. Saat awal gerakan reformasi kita rasanya punya musuh bersama. Ya, Soeharto. Rasanya saat itu hampir semua rakyat sependapat bahwa beliau harus turun. Kini setelah reformasi berjalan lebih dari 10 tahun, Soeharto kembali dirindukan. Sementara makin banyak yang mempersalahkan  gerakan reformasi ‘98.
Kemudian hingga saat ini muncul terus sinetron lainnya contohnya saja kasus Bibit Candra, Antasari, Centurigate, Gayus Tambunan, Nazaruddin, Kasus Wisma Atlet, Malinda Dee, dan lain sebagainya.

Mungkinkah dengan berjalannya waktu  nasibnya akan sama dengan yang lain? Dijatuhkan dan tersingkirkan?.  Tentunya kita masyarakat Indonesia berharap bahwa tokoh protagonis akan tetap dicintai dan tetap berujung pada  kemenangan akan keadilan dan kebenaran. Tapi mungkinkah sinetron ini happy ending ? sementara tidak sedikit yang bernasib naas…tragis!.

Kebenaran jungkir balik, sang penjahat terus berjaya bahkan menjadi pahlawan. Kejujuran dan moral terpojok dan menjadi asing. Masyarakat di semua tingkat kehidupan dengan mudah tergiring berbagai informasi, tidak peduli sebodoh apapun informasi itu. Penjahat tidak tertangkap dan terus melakukan kejahatan, orang baik teraniaya, dan seterusnya.
 
Kebenaran menjadi kabur. Mana pahlawan mana pecundang. Opini masyarakat begitu mudah berubah. Akibatnya negeri ini tetap carut marut, larut dalam pusaran kehancuran moral dan keadilan. Tentu saja ini membuang semua kesempatan terciptanya masyarakat adil dan makmur seusai cita-cita bangsa yang tertera dalam UUD 45

Maka, Janganlah mencaci-maki sinetron-sinetron tersebut. Karena itu merupakan cerminan kondisi masyarakat kita saat ini. Selagi kita turut ambil bagian dalam jungkir baliknya kebenaran, kita yang menciptakan sinetron murahan itu!

Kalau mau dan mampu, mari teriakkan dan berani menegakkan kebenaran baru boleh protes sama cerita sinetron kita. Bisakah?

_rheyzaurus_


17 Oktober 2011

Ketika Tuhan Menciptakan Indonesia

0 komentar


Suatu hari Tuhan tersenyum puas melihat sebuah planet yang baru saja diciptakan- Nya. Malaikat pun bertanya, “Apa yang baru saja Engkau ciptakan, Tuhan?”. “Lihatlah, Aku baru saja menciptakan sebuah planet biru yang bernama Bumi,” kata Tuhan sambil menambahkan beberapa awan di atas daerah hutan hujan Amazon. Tuhan melanjutkan, “Ini akan menjadi planet yang luar biasa dari yang pernah Aku ciptakan. Di planet baru ini, segalanya akan terjadi secara seimbang”.


Lalu Tuhan menjelaskan kepada malaikat tentang Benua Eropa. Di Eropa sebelah utara, Tuhan menciptakan tanah yang penuh peluang dan menyenangkan seperti Inggris, Skotlandia dan Perancis. Tetapi di daerah itu, Tuhan juga menciptakan hawa dingin yang menusuk tulang.


Di Eropa bagian selatan, Tuhan menciptakan masyarakat yang agak miskin, seperti Spanyol dan Portugal, tetapi banyak sinar matahari dan hangat serta pemandangan eksotis di Selat Gibraltar.


Lalu malaikat menunjuk sebuah kepulauan sambil berseru, “Lalu daerah apakah itu Tuhan?”. “Oh itu Indonesia", Kata Tuhan. "Negara yang sangat kaya dan sangat cantik di planet bumi. Ada jutaan flora dan fauna yang telah Aku ciptakan di sana. Ada jutaan ikan segar di laut yang siap panen. Banyak sinar matahari dan hujan. Penduduknya Ku ciptakan ramah tamah,suka menolong dan berkebudayaan yang beraneka warna. Mereka pekerja keras, siap hidup sederhana dan bersahaja serta mencintai seni.”


Dengan terheran-heran, Malaikat pun protes, “Lho, katanya tadi setiap negara akan diciptakan dengan keseimbangan. Kok Indonesia baik-baik semua. Lalu dimana letak keseimbangannya? “


Tuhan pun menjawab dalam bahasa Inggris, “Wait, until you see the idiots I put in the government.”.


Dan untuk rasa terima kasih, kami pemuda-pemudi Indonesia memberikan penghargaan sebesar-besarnya kepada pejuang yang telah mengorbankan darah dan air mata mereka untuk bangsa yang tidak tahu terima kasih ini.


Sayup-sayup terdengar :




“Indonesia tanah air beta


disana tempat lahir beta,


dibuai dibesarkan bunda,


Tempat berlindung di hari Tua


Hingga nanti menutup mata”





Sumber : HMINEWS.COM

I'm Alive Now!

0 komentar

If you look up at the sky after falling down, the blue sky is also today stretching limitlessly and smiles at me…


Yeah.. I’m alive!


Birunya langit hari ini mengajariku akan suatu hal, segalanya akan selalu berganti seperti indahnya langit hari ini, sebelumnya aku melihat mendung menutupi hamparan luas perkamen langit, namun angin mematuhi melukis takdirMu mengganti kelabunya langit mejadi biru nan elok, langit membiru seolah menitipkan senyuman matahari, mereka ingin kita selalu tersenyum, tersenyumlah untuk sekarang dan nanti sampai waktu cukup untuk melepas kita pergi, karena dengan senyuman segala hal yang menyiratkan kesedihan akan berangsur menghilang dan membuat segalanya terasa lebih mudah, kala kesedihan itu menghampiri ingatlah setiap kebahagiaan yang kita terima selama ini, bukankah porsi kebahagiaan lebih banyak dibandingkan kesedihan, lalu apa lagi yang kita risaukan? Karena setiap kesedihan atau kebahagiaan akan segera berakhir dan berganti dengan peristiwa lagi, sebuah proses pembelajaran untuk memahami mengapa kita hidup saat ini.


Aku berjalan hanya dengan mata hati, bernafas hanya dengan tekad, aku mendaki penuh dengan teka teki, dimanakah matahariku?


Matahariku selalu bersinar, namun makna sinarnya hanya mengenai mereka yang mau membuka diri, meskipun cahayanya seolah menerpa setiap insan di bumi ini, tapi tiap tiap yang menerima berbeda mengartikannya, ada yang bingung mengapa matahari ini kadang bersinar kadang redup, ada yang sedih kenapa matahari redup hari ini, ada yang risau akankah dapat melihat lagi indahnya matahari hari ini, dan ada pula yang berfikir mengapa matahari tidak pernah lelah bersinar? Kita berada dimana, kita berhak memilih.


Matahariku selalu bersinar, takdirnya memberi arti kehidupan ini, aku pun ingin seperti dia dengan segala kemampuan yang aku miliki saat ini, berusaha memberi arti, bukankah kita terlahir di dunia ini adalah dengan takdirNya, dan kita terlahir di dunia ini bukan tanpa tujuan melainkan membawa pesan- pesan Tuhan, hidup ini pilihan, dan aku telah putuskan, pilihan yang wajib aku perjuangkan. Aku dalam masa proses, tapi keyakinanku sangat kuat, aku harus berjuang kawan, kamu bisa aku pun bisa!


Bila Aku jatuh nanti, Aku siap Melompat lebih Tinggi. Tetap Semangat dan Hadapi setiap Episode Hidup dengan Senyuman.


Everyone feels pain. But surely, after suffering satisfaction will arrive. Step by step, I want find that light

30 September 2011

Penyakit Stagnasi Akut Milikku

0 komentar
Aku menyadari, bahwa akhir-akhir ini aku mengalami stagnasi yang serius. Saat kehidupan berputar dengan frame gambar-gambar keseharian yang sama hari ke harinya, dengan babak-babak yang berulang dan tanpa sebuah letupan-letupan semangat, aku sadar ada yang harus ditafakuri sejenak. Rasanya ini stagnasi.

Saat sebuah puncak jalanan menanjak sudah kita jejakkan kaki, lalu biasanya setelah itu hamparan jalan adalah menurun, atau katakanlah paling tidak dia akan datar-datar saja.


Sewaktu sekolah, mimpiku adalah merantau dan kuliah, saat kuliah mimpiku adalah bekerja dan berkeluarga. Tapi sekarang sampailah sudah pada fase dimna aku tiba-tiba menjalani rutinitas dengan otomatis. Setiap hari selalu sama, tertebak dan begitu-begitu lagi.


Apa yang salah?


Lama-lama aku sadar ini perkara mimpi. Ada tujuan yang membuat kita bergelora dan meletup-letup. Saat ada sesuatu yang ingin kita capai, kita akan berlari dengan lebih kencang, arahnya pun kita sudah terka kemana, katakanlah suatu kali kita melenceng, tapi akan gampang kita kembali ke tujuan. Katakanlah suatu kali kita jatuh terjerembab, kita akan gampang bangun lagi, meski sakit kita tetap berlari. Karena ada sesuatu itu yang akan kita raih. Ada mimpi.


Kalau begitu kenapa tidak bermimpi lagi saja?


Rasanya, dalam segala tatarannya, mimpi-mimpi kita itu akan berkembang lebih berisi dan penuh tantangan, seiring juga dengan fase kehidupan kita.


Saat kita masih kecil, mimpi kita mungkin sebatas hal-hal remeh. Saat kita sudah beranjak besar, mungkin benturan mimpi kita adalah bagaimana mensinkronkan visi pribadi dengan realita lingkungan yang sering tidak sejalan. Makin besar lagi kita, makin besar pula masalahnya.


Dulu mungkin mimpi kita adalah terbang ke langit dan memetik bintang, maka setelah dewasa mimpi kita haruslah juga terbang ke langit dan memetik bintang, tapi dengan membawa sederet gerbong keluarga ini untuk sama-sama melihat bintang yang itu, langit yang itu, terbang ke arah situ, dan itu seninya.


Dulu, saya pernah ditegur keras oleh seorang dosen pembimbing skripsiku karena saya sudah melewati “batas normal” masa perkuliahan. Katanya : “orang tua itu, lebih banyak pengalaman hidupnya daripada kamu, mereka lebih siap menghadapi banyak cobaan hidup, mau takdir baik, mau takdir buruk. Yang tidak siap itu kamu!”


Pedas…tak ada ampun. Tapi aku bersyukur sekali. Kalimat itu seperti mendorongku untuk lebih semangat lagi dan lagi dalam menyelesaikan studi.


Ya, memang benar. Cobalah tengok orang tua kita! Mereka itu prototype pemimpi sejati, tak usah jauh-jauh. Geletar mimpi mereka itu masih mengaliri denyut-denyut kehidupan kita. Kalau mimpi kita waktu kecil adalah hidup layak dan berpendidikan layak, maka mimpi mereka adalah bagaimana membawa sekian orang dalam gerbong itu menjadi lebih baik, sama sekali bukan gelora-gelora pribadi seperti kita.


Mimpi sepertinya memang harus di perbaharui di setiap fase hidup kita, tapi merekonstruksi pemahaman kita tentang mimpi adalah juga penting. Dan ada kalanya bercermin pada orang – orang di sekitar kita yang lebih sukses.


Tidak punya mimpi mungkin membuat hidup menjadi stagnan, lesu dan mati. Tapi salah membuat mimpi, seringkali juga membuat kita semakin jauh berbelok arah. Arghhh…



-rheyzaurus-

06 Juli 2011

Surat Seorang Penggemar Timnas Kepada Firman Utina dkk.

0 komentar

Kawan, kita sebaya. Hanya bulan yang membedakan usia. Kita tumbuh di tengah sebuah generasi dimana tawa bersama itu sangat langka. Kaki kita menapaki jalan panjang dengan langkah payah menyeret sejuta beban yang seringkali bukan urusan kita. Kita disibukkan dengan beragam masalah yang sialnya juga bukan urusan kita. Kita adalah anak-anak muda yang dipaksa tua oleh televisi yang tiada henti mengabarkan kebencian. Sementara adik-adik kita tidak tumbuh sebagaimana mestinya, narkoba politik uang membunuh nurani mereka. Orang tua, pendahulu kita dan mereka yang memegang tampuk kekuasaan adalah generasi gagal. Suatu generasi yang hidup dalam bayang-bayang rencana yang mereka khianati sendiri. Kawan, akankah kita berhenti lantas mengorbankan diri kita untuk menjadi seperti mereka?


Di negeri permai ini, cinta hanyalah kata-kata sementara benci menjadi kenyataan. Kita tidak pernah mencintai apapun yang kita lakukan, kita hanya ingin mendapatkan hasilnya dengan cepat. Kita tidak mensyukuri berkah yang kita dapatkan, kita hanya ingin menghabiskannya. Kita enggan berbagi kebahagiaan, sebab kemalangan orang lain adalah sumber utama kebahagiaan kita. Kawan, inilah kenyataan memilukan yang kita hadapi, karena kita hidup tanpa cinta maka bahagia bersama menjadi langka. Bayangkan adik-adik kita, lupakan mereka yang tua, bagaimana mereka bisa tumbuh dalam keadaan demikian. Kawan, cinta adalah persoalan kegemaran. Cinta juga masalah prinsip. Bila kau mencintai sesuatu maka kau tidak akan peduli dengan yang lainnya. Tidak kepada poster dan umbul-umbul, tidak kepada para kriminal yang suka mencuci muka apalagi kepada kuli kamera yang menimbulkan kolera. Cinta adalah kesungguhan yang tidak dibatasi oleh menang dan kalah.


Hari-hari belakangan ini keadaan tampak semakin tidak menentu. Keramaian puluhan ribu orang antre tidak mendapatkan tiket. Jutaan orang lantang bersuara demi sepakbola. Segelintir elit menyiapkan rencana jahat untuk menghancurkan kegembiraan rakyat. Kakimu, kawan, telah memberi makna solidaritas. Gocekanmu kawan, telah mengundang tarian massal tanpa saweran. Terobosanmu, kawan, menghidupkan harapan kepada adik-adik kita bahwa masa depan itu masih ada. Tendanganmu kawan, membuat orang-orang percaya bahwa kata “bisa” belum punah dari kehidupan kita. Tetapi inilah buruknya hidup di tengah bangsa yang frustasi, semua beban diletakkan ke pundakmu. Seragammu hendak digunakan untuk mencuci dosa politik. Kegembiraanmu hendak dipunahkan oleh iming-iming bonus dan hadiah. Di Bukit Jalil kemarin, ada yang mengatakan kau terkapar, tetapi aku percaya kau tengah belajar. Di Senayan esok, mereka bilang kau akan membalas, tetapi aku berharap kau cukup bermain dengan gembira.
Firman Utina, kapten tim nasional sepak bola Indonesia, bermain bola lah dan tidak usah memikirkan apa-apa lagi. Sepak bola tidak ada urusannya dengan garuda di dadamu, sebab simbol hanya akan menggerus kegembiraan. Sepak bola tidak urusannya dengan harga diri bangsa, sebab harga diri tumbuh dari sikap dan bukan harapan. Di lapangan kau tidak mewakili siapa-siapa, kau memperjuangkan kegembiraanmu sendiri. Di pinggir lapangan, kau tidak perlu menoleh siapa-siapa, kecuali Tuan Riedl yang percaya sepak bola bukan dagangan para pecundang. Berlarilah Firman, Okto, Ridwan dan Arif, seolah-olah kalian adalah kanak-kanak yang tidak mengerti urusan orang dewasa. Berjibakulah Maman, Hamzah, Zulkifli dan Nasuha seolah-olah kalian mempertahankan kegembiraan yang hendak direnggut lawan. Tenanglah Markus, gawang bukan semata-mata persoalan kebobolan tetapi masalah kegembiraan membuyarkan impian lawan. Gonzales dan Irfan, bersikaplah layaknya orang asing yang memberikan contoh kepada bangsa yang miskin teladan.


Kawan, aku berbicara tidak mewakili siapa-siapa. Ini hanyalah surat dari seorang pengolah kata kepada seorang penggocek bola. Sejujurnya, kami tidak mengharapkan Piala darimu. Kami hanya menginginkan kegembiraan bersama dimana tawa seorang tukang becak sama bahagianya dengan tawa seorang pemimpin Negara. Tidak, kami tidak butuh piala, bermainlah dengan gembira sebagaimana biasanya. Biarkan bola mengalir, menarilah kawan, urusan gol seringkali masalah keberuntungan. Esok di Senayan, kabarkan kepada seluruh bangsa bahwa kebahagiaan bukan urusan menang dan kalah. Tetapi kebahagiaan bersumber pada cinta dan solidaritas. Berjuanglah layaknya seorang laki-laki, kawan. Adik-adik kita akan menjadikan kalian teladan!


 

Memusuhi Kejujuran

0 komentar
Editorial Media Indonesia / Senin, 13 Juni 2011 06:31 WIB

 

BENCANA besar sedang mengintai bangsa ini. Bukan tsunami yang bersumbu pada gempa berkekuatan 8,7 pada skala Richter. Bukan pula kemelut politik akibat ketidakpuasan masyarakat. Juga bukan karena keterpurukan ekonomi akibat pemerintah salah kelola.

Musibah yang lebih besar ialah punahnya sikap kejujuran. Lebih menyeramkan lagi karena pengikisan nilai-nilai kejujuran itu disemai di dunia pendidikan.

Pertanda itu kian jelas. Kecurangan yang terjadi dalam ujian nasional direstui. Seorang pelajar yang melaporkan adanya sontekan legal yang dimotori gurunya sendiri malah diperlakukan tidak adil. Keluarganya diusir sehingga terpaksa mengungsi.

Kasus itu terjadi di sebuah Sekolah Dasar Negeri di Surabaya, Jawa Timur.

Seorang siswa sekolah itu melaporkan kepada orang tuanya bahwa dia diperintahkan gurunya untuk menyebarkan contekan massal soal ujian kepada rekannya saat ujian nasional. Kedua orang tuanya kemudian melaporkan hal itu kepada Wali Kota Surabaya.

Kepala sekolah itu dicopot dan dua guru mendapat sanksi penurunan pangkat. Akan tetapi, persoalan tidak lantas beres. Warga desa bereaksi. Mereka mengintimidasi dan mengusir keluarga tersebut.

Tragis. Betapa mahalnya harga kejujuran. Lebih tragis lagi, kejujuran yang semestinya menjadi roh pendidikan justru dimusuhi dan dilawan.

Pudarnya sikap kejujuran dipacu tiadanya sosok anutan. Masyarakat kehilangan tokoh teladan dari berbagai tingkat. Ruang publik hanya dijejali sikap-sikap amoral yang dipertontonkan pejabat publik pengidap kleptomania yang gemar mencuri uang negara. Nilai-nilai yang mencuat didominasi sikap ketamakan, manipulasi, dan kebohongan.

Kita prihatin karena kejujuran seorang anak SD diberangus secara sengaja justru oleh pendidik dan warga di kelilingnya. Akan jadi apakah kelak anak-anak kita yang kejujurannya dibunuh sejak dini? Jawabnya, akan tumbuh menjadi pembohong. Generasi pendusta tengah menunggu bangsa ini di depan.

Pendidikan semestinya tidak hanya menumbuhkan kecerdasan intelektual, tetapi juga mengasah kejernihan hati nurani. Karena itu, sekali mengajarkan ketidakjujuran, kita telah menabung benih kecurangan dalam diri anak-anak yang kelak antara lain menjadi koruptor.

Semua tahu, negeri ini termasuk salah satu negeri terkorup di dunia. Itu berarti tingkat kejujuran penyelenggara negara dan swasta masih rendah. Namun, kini kita, baik secara sadar maupun tidak sadar, melanggengkan korupsi untuk beberapa dekade ke depan melalui penanaman nilai ketidakjujuran kepada anak-anak usia dini. Tragis.

Kita sungguh risau karena kejujuran kian tergerus dan bersalin dengan pemujaan terhadap kerakusan. Kita kian gagal membangun generasi yang jujur dan percaya diri.

Negeri ini masih menjadi ladang subur koruptor. Terutama karena kita tidak lagi mengajarkan kepada anak-anak untuk membedakan yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah.

 

10 Juni 2011

Air Mataku Bukan Untuk Negeriku

0 komentar
Air Mataku Bukan Untuk Negeriku…!
tetapi untuk bapak si pedagang kerupuk
yang berjalan tanpa alas kaki dan pakaian usangnya
Padahal disana penguasa negeriku
pameran kilatan sepatu
Dalam selimut kayu berukir
tumpukan batik licin hanya memberi makan rayap

 

Air Mataku Bukan Untuk Negeriku…!
tetapi untuk memandikan jenazah si miskin
yang menggadai nyawanya di ranjang putih
untuk saudaraku yang busung lapar di kerajaannya sendiri
yang terisolasi karena hartanya dirampas

 

Air Mataku Bukan Untuk Negeriku…!
sebab air mataku telah terkuras
untuk memberi minum adik-adik kecil
perempatan jalanyang menggantungkan hidupnya
pada tutup botol berkayu
serta kantongan plastik bekas gorengan


 

Air Mataku Bukan Untuk Negeriku…!
Karena kini monster-monster berdasi telah menyihirnya
menjadi sangkar nenek sihir dan sarang penyamun
meski kini usianya beranjak menua


 

Dia juga semakin tergadai
menjadi rebutan dalam bursa kuasa
menjadikan pemimpinku layaknya boneka
pajangan etalase kapitalis-kapitalis rakus
berbagai musibahmelanda, bukannya istighfar
malah menjandikannya ladang koruptor

 

Sekarang titik-titik air mataku yang masih tersisa
-sekali lagi- bukan untuk negeriku…!
tak ada lagi yang tersisa
untuk aku meratapi negeriku
karena aku terlalu lama menunggu
menunggu…dan bosan…!

menunggu…dan muak…!

 

Namun nuraniku berbisik
menangislah untuknya!

01 Juni 2011

Rheyzaurus - Aku Hanya Bisa Diam

0 komentar
Dalam ruang yang putih ini
Diantara puluhan kursi - kursi yang telah usang
Kudekap diriku dan pikiranku
Bersandar pada dinding - dinding kotor dan kusam
Mencoba agar logikaku mampu memahaminya dan aku hanya bisa terdiam..

Dia berdiri disana
Seringkali bercerita tentang apa yang kita yakini
Seringkali pula dia bercerita tentang kesombongannya
Entah apa yang ada dipikirannya
Tak mampu aku memahaminya

Sombong, angkuh, penuh dendam...
Aku menilainya seperti itu..
Persetan dengan yang lain..
Pembual, kolot, dan keras kepala pun
Sempat kusandangkan padanya
Ketika aku begitu benci... Ketika aku diam..

Orang tua dengan separuh nafasnya
Begitu bangganya dia akan hidupnya
Seolah - olah dia miliki semuanya
Seolah - olah pahamnya-lah yang sempurna
Seolah - olah langit dan bumi diturunkan untuknya

Apa yang ada dipikiranmu...???

Aku hanya akan terus diam
Menutup erat - erat pikiranku dalam ruang ini
Agar tak sama denganmu meskipun keyakinan kita sama
Tapi...
Dan aku masih tak mampu memahamimu..

 

_rheyzaurus_