Banyak orang mengatakan bahwa zaman ini telah banyak berubah namun sebenarnya keadaan ini tak ada yang berubah. Kapitalisme masih berkuasa dan kian kejam. Amerika serta sekutunya sibuk invasi kesana – kemari. Yang berubah adalah kita sebagai kaum muda. Anak – anak muda yang terlampau takut melihat zaman. Kapitalisme telah masuk dan merongrong diberbagai urat nadi kehidupan sosial kita termasuk kampus.
Kampus telah menjadi museum tempat banyak orang tua yang memiliki intelektual tinggi berkumpul dan memaksakan pendapatnya. Buku - buku ditulis kemudian dipaksakan untuk dibeli dan dibaca. Dosen – dosen muda sibuk untuk sekolah dan kemudian mengajar dengan bait dan lirik yang sama. Seolah – olah mereka hanya sebuah pengeras suara dari isi buku yang itu – itu saja dan banyak diantara mereka tak punya pandangan segar dan mengejutkan. Karena itulah kuliah seperti mobil tua rusak yang lamban : terseok-seok tanpa ada kegemparan. Kuliah yang tawar membuat kampus menjadi tempat seperti tempat penitipan anak. Tradisi kuliah yang seolah – olah lebih mengutamakan terisinya lembaran absensi daripada otak membuat mahasiswa “harus dipaksakan!!!”mengikuti kuliah. Dosen seolah – olah mengejar setoran. Berikan sebanyak – banyaknya, secepat – cepatnya. Lebih cepat selesai lebih bagus. Tak peduli hasilnya bagus atau buruk. Tak penting apakah para mahasiswa menguasai materi atau tidak. Dari cara ini memang banyak melahirkan mahasiswa yang memiliki nilai KHS tinggi dan mampu menjawab semua pertanyaan tentang kimia, fisika, ataupun hal – hal lainnya. Namun, tidak sedikit dari mahasiswa yang berintelektual tinggi tersebut tidak tidak pernah berpikir tentang : apa yang bisa saya lakukan untuk mengurangi penderitaan rakyat yang menjadi korban penindasan penguasa biadab?.
Di kampus – kampus selalu lantang ketika berbicara tentang penindasan kaum lemah dan sistem kapitalis barat. Namun tak ada gerakan sama sekali, yang ada hanya kumpulan orang penakut dan bernyali banci yang berambisi besar. Perpustakaan selalu sepi dengan buku – buku pergerakan. Itu yang membuat kampus menjadi menara gading tempat menyimpan orang – orang kerdil yang tidak terlalu antusias berfikir tentang hal – hal mengenai rakyat. Sedangkan diluar sana masyarakat memandang kampus sebagai lingkungan para terpelajar elit yang sulit disentuh yang akan menolong mereka. Tapi dengan biaya mahal siapa yang bisa kuliah?. Ujung dari pendidikan busuk ibarat sampah ini hanya menghadirkan mahasiswa penindas yang tak peduli akan rakyat. Maka benarlah tulisan So Hok Gie :
“hanya mereka yang berani menuntut haknya, pantas diberikan keadilan. Kalau mahasiswa Indonesia tidak berani menuntut haknya, biarlah mereka ditindas hingga akhir zaman oleh dosen – dosen korupmereka…"
Julukan dosen korup ditorehkan pada mereka yang perangainya selalu menindas dan selalu berbohong. Inilah yang membuat kampus kehilangan rahim gerakan karena para dosen hanya meniupkan kesadaran palsu kepada mahasiswanya. Gerakan – gerakan mahasiswa yang muncul seperti gerakan anak SMU yang bergerak dibawah telunjuk, hanya olah ketrampilan untuk kemudian menjadi kader yang lihai berbohong dengan mandatnya tanpa bisa memikirkan apa yang bisa mereka kerjakan untuk perubahan sosial rakyat. Mahasiswa menjadi segolongan mayat hidup yang bercita – cita menjadi sarjana untuk mendapatkan kenikmatan hidup. Mereka membawa buku keluar masuk ruangan mencoba untuk menjadi anak – anak patuh. Mereka tidak sadar bahwa tugas mereka tak hanya itu! Tahukah mereka kalau diluar sana ada banyak kepedihan dan kesakitan yang berjalan. Semangat perlawanan bukan saja hilang! Tapi tersungkur kesadarannya untuk membaca alur kehidupan yang semakin tidak adil ini. Mahasiswa seharusnya menjadi penyambung suara pedih rakyat namun realitanya sekarang menjadi penyalur kaum borjuis yang munafik dan korup.
Antonio Gramsci mengatakan :
“…anak – anak muda menjadi pengecut sekaligus melihat terlalu banyak kepengecutan, anak – anak muda ini begitu memalukan dan menyedihkan,… dan tak mungkin bagi sebuah Negara berharap tercipta pembaharuan masyarakat dari berandal – berandal muda ini…”
Kampus kini menjadi sarang para perompak yang melihat masalah sosial hanya sebuah kesimpang-siuran teori. Pendapat ilmiah hanya merupakan jamuan argumentasi yang tak mampu diterjemaahkan dalam realitas. Kampus hanya menjadi kumpulan seonggok daging sarjana tersohor yang hanya berpuas diri dengan saling berargumentasi. Kampus menjadi karnaval teori – teori klasik tanpa bersentuhan dengan realitas kemasyarakatan.
Kita bisa melihat contoh pada Che Guevara, seorang mahasiswa kedokteran yang hampir lulus dengan status cum laude yang lebih memilih mengelilingi amerika latin untuk melihat penderitaan rakyat daripada percaya pada buku dan menulis laporan – laporan penelitiannya. Ia tinggalkan semua kebiasaan kuliah, berburu nilai terbaik dan mematuhi dosen. tapi tak dapat dipungkiri kita tak dapat bisa menjadi seperti dia karena kita berada dimasa yang berbeda dan kondisi sosial yang berbeda pula. Namun, tidaklah kurang jasanya melakukan perjuangan melalui media – media tersedia.
Dalam bukunya Hatta menulis :
“pangkal segala pendidikan karakter ialah cinta akan kebenaran dan berani mengatakan salah dalam menghadapi sesuatu yang dianggap salah… dalam memelihara dan memajukan ilmu, karakterlah yang terutama, bukan kecerdasan!. Kurang kecerdasan dapat diisi, kurang karakter sangat sukar memenuhinya…”
Semoga generasi kita tidaklah seperti generasi sampah yang bisa diinjak – injak oleh penguasa yang kotor dan korup.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Meninggalkan Komentar