17 Oktober 2011

Gunung Sumbing, Pesona Gunung Gersang Yang Tidak Mudah Ditaklukkan Part 2

Lanjutan…


Kurang lebih jam 6 saya sudah keluar dari tenda dan segera menghirup udara segar pada pagi itu. Di ufuk timur matahari sudah keluar dari peraduannya dan menciptakan siluet yang luar biasa di belakang punggungan Sumbing. Setelah meluruskan badan sejenak sambil ber-narsis ria dan menikmati segelas kopi panas kami segera bersiap melakukan summit attack pada pukul 8 pagi. Fyuuhhh.. ini yang jadi bahan fikiran saya ketika mendaki gunung sumbing. Pada siang hari, suhu akan semakin tinggi ditambah lagi dengan kondisi gunung yang gersang dan tidak adanya sumber air. Hal ini akan mengakibatkan kelelahan yang luar biasa serta dehidrasi yang sangat cepat menghinggapi para pendaki. Disarankan mendaki gunung ini ketika hari sudah mulai gelap.





Jam 9 kurang kami tiba di Pestan (peken setan/pasar setan) pada ketinggian 2437 mdpl. Di kawasan ini para pendaki dapat mendirikan tenda karena lokasi ini sangat luas dan datar berupa padang rumput dengan sedikit pepohonan kecil. Namun jika mendirikan tenda di lokasi ini para pendaki harus berhati-hati terhadap terpaan angin kencang dan badai yang kadang-kadang sampai merobohkan tenda. Kondisi jalan masih berupa tanah merah berpasir.


Kami berhenti sejenak disini sambil sarapan pagi. Wawan kelaparan. Bahar ketiduran karena capek, kondisi fisiknya mulai mencapai 30 % hhaa.. Parto masih bertahan. Didit dan Andri masih kuat (salut).






Karena kondisi jalur yang mulai “aduhai asoy”, kami menyembunyikan beberapa carrier termasuk perlengkapan di dalamnya agar mengurangi beban yang kami bawa. Berharap tidak akan ada yang mengambil, karena gunung memiliki hukumnya sendiri.


“karena gunung memiliki hukumnya sendiri”


Pukul 10 kami langsung capcus dari tempat istirahat kemudian dokumentasi sebentar di kawasan Pestan. Dari Pestan jalur semakin curam dan sulit karena jalurnya yang berbatu dan jika tidak hati-hati akan tergelincir. Kawasan ini dinamakan Pasar Watu karena banyaknya batu-batu karang besar yang berserakan. Di ujung jalur ini terdapat sebuah dinding terjal yang menanjak serta buntu sehingga para pendaki harus memutar melewati daerah punggungan bukit sebelah kiri di akhir kawasan Pasar Watu. Jalur ini lumayan menegangkan karena jalannya yang sempit. Disebelah kiri terdapat jurang yang cukup terjal dan di kanan terdapat dinding terjal namun jalur ini sepenuhnya datar (bonuss). Andri dan Parto ternyata nyasar ke jalur buntu jadi saya harus mengejar mereka berdua. Karena jalan kembali ke ujung Pasar Watu terlalu jauh, saya memutuskan kita turun dari puncak buntu tersebut dengan memanjat tebing. Whahahha…seru..seru..


KM VI (Watu Kotak) : Setelah menelusuri sisi batuan terjal ini kami sampai di Watu Kotak dengan ketinggian 2763 mdpl. Disebut Watu Kotak karena di tengah jalur ini terdapat beberapa batu besar yang berbentuk kotak dan memiliki ceruk yang dapat digunakan sebagai perlindungan dari tiupan angin dan hujan. Di kawasan ini terdapat sedikit ruang bagi para pendaki untuk mendirikan tenda kecil. Namun, para pendaki tidak boleh buang air sembarangan dan berbicara yang kasar di tempat ini karena termasuk salah satu tempat yang dikeramatkan. Waktu menunjukkan pukul 12.30.


Kami beristirahat sejenak dengan ditemani segelas kopi dan beberapa snack. Entah siapa yang memiliki ide minum kopi siang hari diatas gunung yang kering ini. Hhaaa...(bikin tambah dehidrasi saja! Wan, mengaku!!!) Alhasil persediaan air minum kami berkurang menjadi 1 botol ditambah lagi Bahar yang hobinya minum kayak sapi. Hhhaa..





Disini kami tidak terlalu lama beristirahat. Wawan dan Parto sudah mulai melanjutkan perjalanan. Kemudian disusul Andri, Didit, dan Saya. Sedangkan Bahar kami tinggalkan sendirian di Watu Kotak karena ketiduran dan sudah kondisinya sudah memasuki angka 10 %.


Saya :    “Bahar, kalau tidak sanggup kau disini saja. Tunggu torang bale dari puncak. Tidak lama torang disana”.


Bahar :  “Aihh… tidak bang! Saya mau memecahkan rekor demi 5 cm (buku donny dhirgantoro tentang pendakian ke Semeru). Kalian duluan saja, saya mau tidur dulu”. Zzzzz….zzz….zzz…


Saya :    “oke.. tapi pelan-pelan saja jangan terlalu bapaksa”.


Akhirnya kami pun meninggalkannya sendirian. Tanpa air. Hhaa…


Dari Watu Kotak kami melewati kawasan Tanah Putih. Kawasan ini sepenuhnya terdiri dari batuan kapur dan merupakan jalur yang paling berat diantara jalur yang lain. Saya pun hampir frustasi di tempat ini karena kondisi jalannya yang sangat menanjak dan terjal diperparah lagi dengan dehidrasi yang amat sangat. Beberapa kali saya sempat tergelincir ke bawah karena batuannya yang mudah jatuh menggelinding. Sekitar 1,5 jam perjalanan Saya dan Didit sampai di Puncak. Untuk sampai ke Puncak dari Tanah Putih kita terus lurus keatas sedangkan untuk menuju Kawah Besar pendaki harus mengelilingi jalan setapak di sebelah kiri Puncak.


KM VII (Puncak) : Puncak Gunung Sumbing ini dikelilingi oleh tebing-tebing batu dan memiliki beberapa puncak antara lain Puncak Buntu pada ketinggian 3371 mdpl dan Puncak Sumbing pada ketinggian 3372 mdpl. Puncak Gunung Sumbing tidak terlalu luas karena terdiri dari tumpukkan batu-batu karang besar sehingga para pendaki tidak dapat mendirikan tenda di tempat ini. Sebenarnya di puncak ini kita dapat melihat megahnya Gunung Sindoro yang terletak tepat di depan mata dan keindahan Gunung Slamet (3428 M) di sebelah barat. Tapi karena awan yang sangat tebal sehingga kita tidak dapat melihat semua keindahan itu. Jika kita melongok ke kawah, kita dapat melihat dengan jelas keluarnya asap belerang dari perut Sumbing. Kita pun dapat sampai kesitu dengan cara menuruni tebing sebelah kiri dari Puncak Buntu tetapi pendaki juga harus hati-hati dengan kawah belerang tersebut.




“Cuaca cerah, angin berhembus kering, langit biru, jurang kawah menjulang, hamparan awan luas membentang. Mungkin tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Hanya rasa syukur dan kagum atas ciptaan-Nya. Hanya merasa kerdil dibanding seluruh semesta. Hanya merasa malu untuk menjadi sombong setelah melihat batapa kecilnya kita. Menaklukkan gunung adalah menaklukkan diri sendiri, menaklukkan ego dan kecongkakan diri, menjadi orang yang lebih peka terhadap sekitar kita. Alam…mengajarkan kita semua.”



Ingin rasanya berlama-lama merasakan segala pengalaman spiritual itu, kepuasan bathiniah yang tak ternilai. Rasa lelah dan penat sepanjang peralanan seakan terbayar lunas ketika sampai di puncak gunung gersang ini. Namun waktu yang kami miliki tidaklah banyak, kami harus segera turun karena malam akan segera menjelang. Kami tidak ingin kemalaman sebelum kawasan Pestan.




0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan Meninggalkan Komentar