31 Juli 2011
06 Juli 2011
Surat Seorang Penggemar Timnas Kepada Firman Utina dkk.
Kawan, kita sebaya. Hanya bulan yang membedakan usia. Kita tumbuh di tengah sebuah generasi dimana tawa bersama itu sangat langka. Kaki kita menapaki jalan panjang dengan langkah payah menyeret sejuta beban yang seringkali bukan urusan kita. Kita disibukkan dengan beragam masalah yang sialnya juga bukan urusan kita. Kita adalah anak-anak muda yang dipaksa tua oleh televisi yang tiada henti mengabarkan kebencian. Sementara adik-adik kita tidak tumbuh sebagaimana mestinya, narkoba politik uang membunuh nurani mereka. Orang tua, pendahulu kita dan mereka yang memegang tampuk kekuasaan adalah generasi gagal. Suatu generasi yang hidup dalam bayang-bayang rencana yang mereka khianati sendiri. Kawan, akankah kita berhenti lantas mengorbankan diri kita untuk menjadi seperti mereka?
Di negeri permai ini, cinta hanyalah kata-kata sementara benci menjadi kenyataan. Kita tidak pernah mencintai apapun yang kita lakukan, kita hanya ingin mendapatkan hasilnya dengan cepat. Kita tidak mensyukuri berkah yang kita dapatkan, kita hanya ingin menghabiskannya. Kita enggan berbagi kebahagiaan, sebab kemalangan orang lain adalah sumber utama kebahagiaan kita. Kawan, inilah kenyataan memilukan yang kita hadapi, karena kita hidup tanpa cinta maka bahagia bersama menjadi langka. Bayangkan adik-adik kita, lupakan mereka yang tua, bagaimana mereka bisa tumbuh dalam keadaan demikian. Kawan, cinta adalah persoalan kegemaran. Cinta juga masalah prinsip. Bila kau mencintai sesuatu maka kau tidak akan peduli dengan yang lainnya. Tidak kepada poster dan umbul-umbul, tidak kepada para kriminal yang suka mencuci muka apalagi kepada kuli kamera yang menimbulkan kolera. Cinta adalah kesungguhan yang tidak dibatasi oleh menang dan kalah.
Hari-hari belakangan ini keadaan tampak semakin tidak menentu. Keramaian puluhan ribu orang antre tidak mendapatkan tiket. Jutaan orang lantang bersuara demi sepakbola. Segelintir elit menyiapkan rencana jahat untuk menghancurkan kegembiraan rakyat. Kakimu, kawan, telah memberi makna solidaritas. Gocekanmu kawan, telah mengundang tarian massal tanpa saweran. Terobosanmu, kawan, menghidupkan harapan kepada adik-adik kita bahwa masa depan itu masih ada. Tendanganmu kawan, membuat orang-orang percaya bahwa kata “bisa” belum punah dari kehidupan kita. Tetapi inilah buruknya hidup di tengah bangsa yang frustasi, semua beban diletakkan ke pundakmu. Seragammu hendak digunakan untuk mencuci dosa politik. Kegembiraanmu hendak dipunahkan oleh iming-iming bonus dan hadiah. Di Bukit Jalil kemarin, ada yang mengatakan kau terkapar, tetapi aku percaya kau tengah belajar. Di Senayan esok, mereka bilang kau akan membalas, tetapi aku berharap kau cukup bermain dengan gembira.
Firman Utina, kapten tim nasional sepak bola Indonesia, bermain bola lah dan tidak usah memikirkan apa-apa lagi. Sepak bola tidak ada urusannya dengan garuda di dadamu, sebab simbol hanya akan menggerus kegembiraan. Sepak bola tidak urusannya dengan harga diri bangsa, sebab harga diri tumbuh dari sikap dan bukan harapan. Di lapangan kau tidak mewakili siapa-siapa, kau memperjuangkan kegembiraanmu sendiri. Di pinggir lapangan, kau tidak perlu menoleh siapa-siapa, kecuali Tuan Riedl yang percaya sepak bola bukan dagangan para pecundang. Berlarilah Firman, Okto, Ridwan dan Arif, seolah-olah kalian adalah kanak-kanak yang tidak mengerti urusan orang dewasa. Berjibakulah Maman, Hamzah, Zulkifli dan Nasuha seolah-olah kalian mempertahankan kegembiraan yang hendak direnggut lawan. Tenanglah Markus, gawang bukan semata-mata persoalan kebobolan tetapi masalah kegembiraan membuyarkan impian lawan. Gonzales dan Irfan, bersikaplah layaknya orang asing yang memberikan contoh kepada bangsa yang miskin teladan.
Kawan, aku berbicara tidak mewakili siapa-siapa. Ini hanyalah surat dari seorang pengolah kata kepada seorang penggocek bola. Sejujurnya, kami tidak mengharapkan Piala darimu. Kami hanya menginginkan kegembiraan bersama dimana tawa seorang tukang becak sama bahagianya dengan tawa seorang pemimpin Negara. Tidak, kami tidak butuh piala, bermainlah dengan gembira sebagaimana biasanya. Biarkan bola mengalir, menarilah kawan, urusan gol seringkali masalah keberuntungan. Esok di Senayan, kabarkan kepada seluruh bangsa bahwa kebahagiaan bukan urusan menang dan kalah. Tetapi kebahagiaan bersumber pada cinta dan solidaritas. Berjuanglah layaknya seorang laki-laki, kawan. Adik-adik kita akan menjadikan kalian teladan!
Memusuhi Kejujuran
BENCANA besar sedang mengintai bangsa ini. Bukan tsunami yang bersumbu pada gempa berkekuatan 8,7 pada skala Richter. Bukan pula kemelut politik akibat ketidakpuasan masyarakat. Juga bukan karena keterpurukan ekonomi akibat pemerintah salah kelola.
Musibah yang lebih besar ialah punahnya sikap kejujuran. Lebih menyeramkan lagi karena pengikisan nilai-nilai kejujuran itu disemai di dunia pendidikan.
Pertanda itu kian jelas. Kecurangan yang terjadi dalam ujian nasional direstui. Seorang pelajar yang melaporkan adanya sontekan legal yang dimotori gurunya sendiri malah diperlakukan tidak adil. Keluarganya diusir sehingga terpaksa mengungsi.
Kasus itu terjadi di sebuah Sekolah Dasar Negeri di Surabaya, Jawa Timur.
Seorang siswa sekolah itu melaporkan kepada orang tuanya bahwa dia diperintahkan gurunya untuk menyebarkan contekan massal soal ujian kepada rekannya saat ujian nasional. Kedua orang tuanya kemudian melaporkan hal itu kepada Wali Kota Surabaya.
Kepala sekolah itu dicopot dan dua guru mendapat sanksi penurunan pangkat. Akan tetapi, persoalan tidak lantas beres. Warga desa bereaksi. Mereka mengintimidasi dan mengusir keluarga tersebut.
Tragis. Betapa mahalnya harga kejujuran. Lebih tragis lagi, kejujuran yang semestinya menjadi roh pendidikan justru dimusuhi dan dilawan.
Pudarnya sikap kejujuran dipacu tiadanya sosok anutan. Masyarakat kehilangan tokoh teladan dari berbagai tingkat. Ruang publik hanya dijejali sikap-sikap amoral yang dipertontonkan pejabat publik pengidap kleptomania yang gemar mencuri uang negara. Nilai-nilai yang mencuat didominasi sikap ketamakan, manipulasi, dan kebohongan.
Kita prihatin karena kejujuran seorang anak SD diberangus secara sengaja justru oleh pendidik dan warga di kelilingnya. Akan jadi apakah kelak anak-anak kita yang kejujurannya dibunuh sejak dini? Jawabnya, akan tumbuh menjadi pembohong. Generasi pendusta tengah menunggu bangsa ini di depan.
Pendidikan semestinya tidak hanya menumbuhkan kecerdasan intelektual, tetapi juga mengasah kejernihan hati nurani. Karena itu, sekali mengajarkan ketidakjujuran, kita telah menabung benih kecurangan dalam diri anak-anak yang kelak antara lain menjadi koruptor.
Semua tahu, negeri ini termasuk salah satu negeri terkorup di dunia. Itu berarti tingkat kejujuran penyelenggara negara dan swasta masih rendah. Namun, kini kita, baik secara sadar maupun tidak sadar, melanggengkan korupsi untuk beberapa dekade ke depan melalui penanaman nilai ketidakjujuran kepada anak-anak usia dini. Tragis.
Kita sungguh risau karena kejujuran kian tergerus dan bersalin dengan pemujaan terhadap kerakusan. Kita kian gagal membangun generasi yang jujur dan percaya diri.
Negeri ini masih menjadi ladang subur koruptor. Terutama karena kita tidak lagi mengajarkan kepada anak-anak untuk membedakan yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah.